Menghormati Adat dalam Bingkai Republik: Posisi PALASARA di Antara Warisan dan Konstitusi

Header Menu


Menghormati Adat dalam Bingkai Republik: Posisi PALASARA di Antara Warisan dan Konstitusi

RISWANDI
Selasa, 13 Mei 2025

CAMERAJURNALIS.COM, MAKASSAR - Dalam beberapa bulan terakhir, geliat dan antusiasme para penggiat adat dan pamong budaya di Sulawesi tampak semakin menguat. Hal ini tampak nyata ketika PALASARA (Perhimpunan Agung Lembaga Adat Sulawesi Selatan dan Barat) menggelar konsolidasi kelembagaan di berbagai daerah. 

Dengan semangat kolaboratif, setiap pembentukan DPW PALASARA di kabupaten/kota selalu melibatkan arahan dan petunjuk dari kepala daerah setempat. Pendekatan ini tidak hanya menegaskan semangat sinergi antara penggiat adat dan pemerintah, tetapi juga menunjukkan bahwa pelestarian adat tidak bisa berjalan di luar rel konstitusi.

Namun dalam dinamika ini, sering muncul pertanyaan: bagaimana sebenarnya posisi kerajaan, kesultanan, atau lembaga adat dalam struktur negara Republik Indonesia? Dan di mana posisi PALASARA dalam lanskap itu?

Republik, Bukan Monarki

Konstitusi kita tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945. Ini berarti, secara sistem pemerintahan, tidak ada ruang bagi bentuk monarki atau jabatan kerajaan untuk masuk ke dalam struktur resmi negara. Raja, Sultan, atau bangsawan bukanlah pejabat negara, meski mereka bisa memiliki peran penting secara sosial budaya.

Lebih lanjut, tidak ada satu pun aturan perundang-undangan di tingkat Undang-Undang (UU) maupun Peraturan Pemerintah (PP) yang memberi kewenangan kepada Presiden, Menteri Dalam Negeri, apalagi kepala daerah, untuk menobatkan atau melantik seorang Raja atau Sultan. Jabatan tersebut bukanlah produk politik negara, melainkan bagian dari sistem adat dan warisan sejarah.

Adat yang Dihormati Konstitusi

Walau negara tidak mengakui sistem kerajaan secara formal, bukan berarti negara menafikan keberadaan mereka. Justru sebaliknya. Dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, disebutkan dengan tegas:

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Inilah ruang konstitusional yang menegaskan bahwa kerajaan dan kesultanan yang masih hidup hari ini diakui bukan sebagai pemerintahan, melainkan sebagai bagian dari masyarakat hukum adat dan entitas budaya. Negara menghormati eksistensinya, bukan otoritasnya.

Pemerintah Mengakui, Bukan Melantik

Dalam praktiknya, pemerintah, baik pusat maupun daerah, memiliki ruang untuk mengakui keberadaan lembaga adat. Pengakuan ini bisa dituangkan dalam bentuk SK pengakuan lembaga adat, dukungan kegiatan kebudayaan, atau kerja sama pelestarian budaya lokal. Tapi penting digarisbawahi:

Pemerintah tidak memiliki kewenangan menentukan siapa yang menjadi raja, sultan, atau pemimpin adat.

Penobatan atau pelantikan adalah murni urusan internal keluarga kerajaan atau masyarakat adat. Negara hadir hanya sebagai mitra, bukan sebagai penentu. Contoh paling jelas adalah dalam acara penobatan Sultan di Yogyakarta atau Surakarta, pemerintah hadir sebagai tamu, bukan pelantik.

PALASARA: Bukan Pewaris Tahta Kerajaan, Tapi Penjaga Warisan Adat dan Budaya. 

Dalam konteks ini, PALASARA menempatkan diri dengan sangat hati-hati dan tepat. PALASARA tidak hadir sebagai organisasi kerajaan atau lembaga pewaris tahta, tetapi sebagai wadah silaturahmi lintas kerajaan dan etnik adat di Sulawesi Selatan dan Barat. Kami tidak menobatkan, melantik, atau mengklaim siapa yang berhak menjadi raja atau sultan. Itu bukan ranah kami. Bukan pula ranah negara.

Sebaliknya, PALASARA berkomitmen menjadi penjaga nilai, pelestari warisan, dan jembatan sinergi antara komunitas adat dan pemerintah. Kami tidak melangkah ke ranah politik formal atau perebutan klaim legitimasi kerajaan, tapi justru menempatkan nilai adat dalam posisi yang sesuai: dihormati, dilestarikan, dan disinergikan dengan pembangunan bangsa.

Dengan pendekatan ini, PALASARA justru lebih konstitusional dibanding organisasi yang masih membawa narasi “tahta” dan “legitimasi kerajaan” di tengah republik. Kita tidak sedang membangun monarki baru dalam republik. Kita sedang menjaga akar dalam badai zaman.

Menjaga Warisan, Menjaga Negara

PALASARA berdiri bukan untuk membangkitkan sistem kerajaan dalam wujud politik. Kami berdiri untuk menjaga warisan adat, memperkuat nilai budaya lokal, dan membangun jembatan antara generasi muda dan akar tradisinya. Karena kami yakin, pelestarian adat yang bijaksana justru menguatkan republik, bukan melemahkannya.

Adat tidak harus berkuasa untuk bermakna. Ia cukup dijaga dengan hormat, diwariskan dengan arif, dan disinergikan dengan cerdas. Di sinilah PALASARA berdiri di titik tengah antara warisan dan konstitusi. (*)


Oleh: Andi Fahri Makkasau
Sekjen PALASARA Indonesia