Empat Pulau “Hilang” Dari Aceh; Diam Itu Kekalahan

Header Menu


Empat Pulau “Hilang” Dari Aceh; Diam Itu Kekalahan

RISWANDI
Minggu, 08 Juni 2025

CAMERAJURNALIS.COM, ACEH - Tahun 2025, Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 300.2.2-2138 menggoreskan luka baru dalam tubuh Aceh. Empat pulau strategis Pulau MANGKIR GADANG, MANGKIR KETEK, PANJANG, dan LIPAN resmi dipindahkan ke wilayah administratif Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.

Ini bukan sekadar koordinat yang bergeser; ini adalah penghilangan wilayah Aceh tanpa suara, tanpa restu, tanpa harga diri.
Pulau-pulau tersebut bukan tanah kosong. Mereka telah dihuni dan dijaga turun-temurun oleh masyarakat Aceh Singkil. Di sanalah hidup para nelayan, penjaga laut, saksi sejarah, dan pewaris tanah adat. Lebih dari itu, keempat pulau itu adalah warisan kolektif tanah kehormatan yang dititipkan oleh para pejuang dan leluhur Aceh.

Yang lebih menyakitkan, keputusan ini melabrak kesepakatan resmi tahun 1992 antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara yang disahkan dan diakui oleh Mendagri. Maka pertanyaan besar pun muncul: Mengapa negara mengingkari perjanjian dan menghapus sejarah? Apakah ini murni soal penataan wilayah, atau ada kepentingan ekonomi terselubung yang mengincar potensi sumber daya laut Aceh?

Judul Empat Pulau “Hilang” dari Aceh: Diam Itu Kekalahan adalah pengingat bahwa kita sedang menghadapi ancaman terhadap eksistensi dan martabat Aceh. Ini bukan sekadar administrasi. Ini adalah bentuk kolonisasi dalam wajah modern.
Dulu, bangsa asing datang membawa senjata dan bendera. Hari ini, mereka datang dengan dokumen, titik koordinat, dan stempel negara. Tapi akibatnya sama: tanah hilang, rakyat dibungkam, sejarah dilupakan.

Empat pulau itu bukan titik mati di atas peta. Mereka hidup dalam ingatan rakyat Aceh, dalam nadi Hikayat Aceh yang diwariskan dari generasi ke generasi. Di sana diceritakan bagaimana rakyat Aceh melawan Portugis dan Belanda dengan keberanian dan kecerdikan diplomasi. Sultan Iskandar Muda disebut sebagai Zulqarnain dari Sumatera penguasa laut dan daratan, penjaga kehormatan negeri. Apakah semangat itu akan dikubur hanya karena satu surat keputusan?

Hari ini, rakyat Aceh kembali menyaksikan tanahnya diambil tanpa suara. Haji Uma, anggota DPD RI, bersuara lantang di Senayan. Warga Pulau Panjang berdiri menolak. Akademisi, mahasiswa, dan aktivis menyuarakan hal yang sama: ini bentuk pencaplokan wilayah. Bahkan media nasional seperti Tempo, Kompas, dan CNN Indonesia melaporkan adanya potensi cadangan minyak dan gas bumi di kawasan laut tersebut yang kini “berpindah tangan” secara sepihak. Apakah ini kebetulan?

Ironisnya, Gubernur Sumatera Utara menyodorkan solusi “pengelolaan bersama” istilah halus untuk mencuri wilayah dengan senyum dan menjinakkan perlawanan rakyat Aceh. Namun kita bukan bangsa yang bisa dibujuk dengan narasi manipulatif.

Aceh punya sejarah berdarah dalam memperjuangkan wilayahnya. Dari Perang Kemerdekaan hingga Gerakan DI/TII, dari masa DOM hingga lahirnya MoU Helsinki, semua dilalui demi menjaga tanah tumpah darah. Tapi apa hasilnya hari ini? Otonomi khusus hanya tinggal nama. Kekayaan alam diambil, keputusan nasional dibuat tanpa partisipasi rakyat Aceh. Sekali lagi, kita hanya penonton dalam naskah negara sendiri.

Ini bukan soal empat pulau. Ini pertaruhan atas martabat. Jika hari ini kita diam, besok yang hilang bukan hanya laut tetapi nama kita di peta sejarah. Sebagaimana tertulis dalam Hikayat Aceh: “Biar darah menitik ke bumi, asal negeri jangan dikuasai kafir dan penindas.”

Rakyat Aceh harus bersatu. Ulama, mahasiswa, perempuan, pemuda, adat, dan intelektual harus bangkit bersama. Tuntut pencabutan keputusan ini secara hukum. Paksa DPRA dan DPD RI untuk berdiri di garis depan. Buka ruang internasional jika perlu. Jangan biarkan perampokan ini dibungkus oleh formalitas.

Aceh adalah negeri yang pernah mengorbankan wilayahnya demi bersatu dengan Republik Indonesia saat Indonesia bahkan belum memenuhi syarat sebagai negara merdeka. Tapi balasan negara hari ini adalah penghilangan wilayah?

Bangkit, Aceh. Ini bukan akhir. Ini adalah awal perlawanan. Lawan dengan martabat. Karena sejarah tak akan memaafkan generasi yang diam saat tanah leluhur dirampas di siang bolong. 

Penulis : Annisa, S.Pd (Aktivis Aceh/Bagian dari Sekolah Kita Menulis) 
Sumber : KataCyber.Com

 (Junaidy)