Farhan Sang Penyuluh KUA Antara Nurani, Bedug, dan Risiko Jabatan
0 menit baca
CAMERAJURNALIS.COM, SUNGAILIAT – Di tengah riuh rendah kehidupan sosial dan politik yang sering lebih panas dari tungku dapur warga, muncullah satu sosok yang tetap berdiri tegak meski angin kencang berembus dari segala arah: Farhan Habib, sang Penyuluh Agama Islam yang oleh warga dijuluki “Sang Penyuluh KUA” — bukan karena suka cari gara-gara, tapi karena selalu siap menabrak ketidakadilan dengan kepala dingin dan hati lapang.
Kasusnya sederhana tapi menyentuh urat nurani. Ali Imran, seorang marbot mushola Al Ikhlas Gg.Namak yang setia memukul bedug lebih tepat waktu daripada jam digital, menjadi korban pemukulan oleh seseorang bernama Yassir Mustafa Sang Ketua Dewan Masjid Indonesia Kabuoaten Bangka sekaligus Kepala Cabdin Pendidikan 2 Bangka yg digadang menjadi Kabag Kesra Propinsi Babel. Banyak orang memilih diam — entah takut, entah pura-pura sibuk — tapi tidak Farhan.
“Kalau marbot saja tidak kita bela, nanti siapa lagi yang akan mengetuk bedug keadilan?” begitu kata Farhan, dengan senyum khasnya yang separuh tegas separuh jenaka.
Ia sadar, langkahnya bisa mengundang badai. Sebab melawan kezaliman itu tidak selalu berarti disambut tepuk tangan — kadang malah disambut tudingan, fitnah, dan penggalian masa lalu. “Dikorek-korek pun tak apa,” ujarnya ringan, “asal bukan dikorek nuraninya.”
Farhan tahu betul, membela Ali Imran orang perantauan sendirian di tanah Bangka, bukan perkara mudah. Ada tekanan, ada pandangan sinis, bahkan ada godaan agar diam saja. Tapi diam bukan gaya Sang Penyuluh KUA. 
“Kalau penyuluh cuma bicara di mimbar, lalu menunduk saat ada ketidakadilan, itu bukan penyuluh — itu dekorasi masjid,” katanya sambil terkekeh.
Dalam perjalanannya mendampingi sang marbot, Farhan tak jarang dijuluki “bemper terbuka”. Tapi ia malah bangga.
 “Lebih baik jadi bemper yang menahan hantaman kezaliman, daripada jadi spion yang cuma melihat dari jauh dan tak berbuat apa-apa,” ucapnya santai.
Meski kariernya mungkin terancam, Farhan tetap melangkah. Sebab baginya, kejujuran bukan karier, tapi kompas hidup. Ia percaya, ketika seseorang membela yang lemah, sebenarnya ia sedang membela kemanusiaannya sendiri.
Dan seperti biasa, setelah semua usai, ia menutup perjuangan hari itu dengan kalimat yang kini jadi tanda tangan khasnya:
 “Terima kasih kerana menonton! Tapi jangan cuma menonton — ikutlah menegakkan yang benar, walau sekadar dengan niat dan doa.”



