CAMERAJURNALIS.COM, PEKANBARU - Di bawah terik matahari yang menyinari halaman Gedung Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR), Selasa 20 Mei 2025, sekumpulan pria berseragam berdiri tegak penuh wibawa. Mereka bukan sekadar barisan upacara. Mereka adalah simbol perlawanan kultural dan penjaga harga diri masyarakat Riau: Laskar Hulubalang Melayu Bersatu.
Di tengah-tengah mereka, tampak sosok pria tegap dengan sorot mata tajam namun teduh, mengenakan tanjak dan baju kurung kebesaran Melayu. Dialah Juprian, SE., Panglima Besar Laskar Hulubalang Melayu Bersatu (Pangbes LHMB). Sosok yang hari ini menjadi salah satu figur penting dalam gelombang perjuangan menuntut status daerah istimewa bagi tanah Riau.
Juprian bukan orang baru dalam medan juang. Lahir di Bagan Siapi-api pada 19 Juli 1972 dari pasangan H. Kamaruddin Azis yang berasal dari kecamatan Siak Kecil, kabupaten Bengkalis dan Hj. Siti Mariah dari Siak Sri Indrapura, darah pejuang dan semangat Melayu mengalir deras dalam dirinya.
Pendidikan ekonomi yang ia tempuh tak membuatnya larut dalam kenyamanan profesi semata. Sebagai seorang wiraswasta, Juprian menjalani kehidupan praktis, tetapi jiwanya selalu tertambat pada pergolakan batin masyarakat Riau yang sejak lama merindukan keadilan sejati dari republik ini.
"Riau ini tanah yang kaya, tapi rasa keadilannya terasa miskin. Sudah terlalu lama kita menjadi penonton atas kekayaan sendiri," ungkap Pangbes Dt. Juprian dalam satu perbincangan. Kalimat itu tak sekadar kritik, tapi juga amanah sejarah yang dia rasakan dan wariskan kepada anaknya, Wanda Rizcha Putri, yang kini sedang menempuh studi Magister Manajemen di Universitas Riau.
Sejak muda, Pangbes Dt.Juprian sudah malang-melintang dalam berbagai organisasi. Ia pernah menjadi Sekretaris DPD Ikatan Pemuda Karya Riau (2003–2010), Sekretaris PD FSPTI-KSPSI Riau (2007–kini), Wakil Ketua 1 DPD Partai Gerindra Riau (2012–2015), hingga sekarang menjabat Ketua Dewan Pakar MPC Pemuda Pancasila Kota Pekanbaru. Namun di atas semua jabatan itu, peran strategisnya sebagai Panglima Besar Laskar Hulubalang Melayu Bersatu menjadi panggilan jiwa.
Laskar Hulubalang Melayu Bersatu bukan sekadar kelompok adat atau simbol seremonial. Ia adalah perpanjangan tangan dari rasa kolektif masyarakat Riau yang merasa terpinggirkan. Dalam konteks perjuangan Daerah Istimewa Riau, kehadiran laskar ini mengingatkan publik bahwa adat dan marwah Melayu bukan barang museum. Ia hidup, bergerak, dan menyala—membakar semangat keadilan.
"Kami bukan laskar yang hanya ingin tampil di panggung. Kami adalah suara-suara lama yang sudah lama didiamkan," tegas Pangbes Dt. Juprian. Maklumat Daerah Istimewa Riau yang dibacakan di LAMR beberapa waktu lalu bukanlah titik awal, melainkan akumulasi luka sejarah yang belum tersembuhkan.
Sejak bergabungnya Riau ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, ada banyak luka yang tertoreh. Bukan hanya karena eksploitasi sumber daya alam yang tak seimbang, tapi juga karena perasaan termarginalkan secara politik dan budaya. Dua kali rakyat Riau menggelar Kongres Rakyat Riau sebagai upaya artikulasi kehendak kolektif, namun suara-suara itu seakan karam dalam hiruk-pikuk nasionalisme yang sentralistik.
Pangbes Dt. Juprian mengingatnya dengan jelas. Baginya, pekikan rakyat dari masa ke masa itu seperti gema yang tak pernah padam. "Kami mungkin tak membawa senjata, tapi kami membawa sejarah. Kami membawa air mata. Kami membawa harapan."
Dengan menjadikan Laskar Hulubalang Melayu Bersatu sebagai wadah, Juprian berharap bisa menyatukan berbagai elemen masyarakat Riau: budayawan, ulama, pemuda, petani, nelayan, hingga birokrat.
Laskar ini bukan organisasi tunggal, melainkan konfederasi kultural yang terdiri dari berbagai organisasi adat, pemuda, dan sosial kemasyarakatan yang menyatu dalam semangat kemelayuan. "Kami berbaris bukan untuk melawan negara, tapi untuk mengingatkan negara bahwa kami bagian darinya yang juga berhak didengar," katanya.
Ada sesuatu yang filosofis dalam setiap langkah Juprian. Ia memahami bahwa perjuangan bukan hanya soal politik praktis, tapi tentang bagaimana membangkitkan memori kolektif dan kesadaran sejarah masyarakat.
Itulah sebabnya, setiap langkah laskar selalu dibingkai dengan adat dan pantun. Dalam setiap aksi, selalu ada syair, tanjak, dan tabik. Di situlah letak keluhuran gerakan ini—menjaga marwah sambil menuntut hak.
Dalam wawancara dengan media ini, Juprian menegaskan bahwa perjuangan status daerah istimewa bukan berarti memisahkan diri dari NKRI. Sebaliknya, justru demi memperkuat posisi Riau dalam kerangka negara yang adil dan beradab.
"Kalau Yogyakarta bisa karena sejarah kerajaannya, Aceh bisa karena syariat dan perjanjian Helsinki, Papua bisa karena otonomi khusus, mengapa Riau tidak bisa karena kontribusi ekonominya dan kekayaan budayanya?"
Juprian bukan orator populis. Ia tidak banyak muncul di media nasional, tapi gerakannya membekas kuat di akar rumput. Di berbagai kampung, dari pesisir Bengkalis hingga pedalaman Kuantan, nama dan semangatnya bergaung. Ia bukan pemimpin yang minta dipuja, tapi pejuang yang ingin rakyatnya berdaulat.
Di rumah sederhananya di Jalan Kasah, Gang Buntu no. 9, Pekanbaru, Juprian menyimpan dokumen-dokumen penting perjuangan Riau. Di antara buku ekonomi dan kitab Melayu, ia menyimpan rapi catatan maklumat, manifesto rakyat, serta dokumentasi aksi laskar. Rumah itu bukan istana, tapi pusat komando kebudayaan yang hidup.
"Saya tak ingin mati sia-sia. Saya ingin mati sebagai orang yang pernah berjuang untuk keadilan rakyatnya," ujar Pangbes Dt. Juprian lirih, tetapi penuh determinasi.
Kini, di usianya yang menginjak 53 tahun, Juprian terus bergerak. Bersama sang istri, Herlina, dan dukungan penuh dari anak semata wayangnya, ia menapak jalan panjang yang penuh kerikil. Ia sadar bahwa perjuangan ini tidak pendek, tidak mudah, dan tidak murah. Tapi sebagai anak jati Riau, dia memilih menjadi bagian dari sejarah, bukan penonton sejarah.
Dalam perjalanannya, Juprian telah menjelma bukan hanya sebagai panglima laskar, tapi juga sebagai simbol perlawanan kultural. Ia bukan sekadar tokoh, melainkan penjaga api semangat rakyat yang menuntut keadilan. Di tanah yang pernah melahirkan kerajaan besar dan pujangga agung, Juprian berdiri tegak, membawa obor Melayu ke tengah arus zaman yang kian kabur arah.
Dan ketika kelak sejarah mencatat siapa saja yang pernah menabur benih keadilan untuk Riau, nama Pangbes Dt. Juprian, SE. akan hadir di antara mereka—dalam syair, dalam pantun, dan dalam ingatan kolektif orang Melayu. *
Sumber: RiauRaya